Kamis, 22 November 2007

Syariat Islam Untuk Selamatkan Indonesia

Mengakomodasi kelompok besar tanpa menyisihkan kelompok kecil

Ketika Rasulullah wafat, para sahabat kaget dan panik. Untunglah Abu Bakar dapat menenangkan suasana. Umar yang sebelumnya mengancam para sahabat agar tidak ada yang berani menyatakan bahwa Muhammad telah wafat, akhirnya luluh setelah Abu Bakar mengumpulkan kaum muslimin di masjid, dan membacakan ayat berikut ini:

"Dan Muhammad itu hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berganti sebelumnya rasul-rasul. Maka apakah setelah ia wafat atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang? Maka siapa melakukan itu, tidaklah memberi mudharat apapun terhadap Allah. Dan Allah akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur." (QS Ali Imraan: 144)

Sampai akhir hayatnya, Rasulullah tidak memberi wasiat apa-apa tentang penggantinya. Beliau tidak menunjuk seseorang, termasuk Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang diyakini oleh kaum Syi'ah. Rasulullah benar-benar menyerahkan soal kepemimpinan ummat ini kepada rakyat, agar mereka merundingkan sendiri siapa yang layak memimpin mereka.

Di antara sekian banyak para sahabat, tentu ada beberapa sahabat yang menonjol. Bilangan mereka tidak sedikit karena Rasulullah telah sangat sukses membangun generasi sahabat. Kualitas mereka hampir sepadan, sehingga sulit dicari siapa yang paling unggul di antaranya. Karena jumlah orang-orang yang berkualitas di suatu masa itu melimpah, maka masa itu disebut-sebut ahli sejarah sebagai khairul-qurun, sebaik-baik masa.

Seperti layaknya masyarakat umumnya, saat itu juga terjadi fanatisme daerah. Kaum Anshar merasa lebih berhak memimpin, karena pusat pemerintahan Islam sejak Rasulullah hijrah adalah Madinah. Sebagai penduduk asli, kaum Anshar berembuk untuk menunjuk salah satu putra daerah yang cakap dan pantas untuk menduduki jabatan itu. Karena orang-orang yang berkualitas di kalangan Anshar cukup banyak, maka untuk mencarinya tidak terlalu sulit.

Jika sekarang berkembang berbagai tuntutan untuk memilih putra daerah sebagai pimpinan, apakah itu gubernur, bupati, atau jabatan-jabatan lainnya dalam berbagai organisasi pemerintah maupun swasta, maka sesungguhnya tuntutan itu bukan hal baru. Malah pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam, 'ashabiyah telah menjadi sebuah paham. Karena menjadi ideologi, maka para penganutnya memperjuangkan mati-matian.

Ingatan kita tentu melayang kembali pada suatu peristiwa yang terjadi pada masa sebelum kenabian Muhammad. Pada saat itu hampir saja terjadi perang antar suku hanya karena mereka berebut untuk meletakkan kembali hajarul aswad di Ka'bah. Masing-masing merasa berhak sebagai kelompok yang paling pantas sebagai peletak batu hitam itu. Untunglah ada seorang pemuda bernama Muhammad yang segera bisa meredakan suasana. Dengan arif beliau membeber kain persegi empat, kemudian meletakkan batu hitam itu di tengahnya. Setelah itu beliau memanggil masing-masing ketua suku untuk memegang ujung kain tersebut dan mengangkatnya bersama-sama. Dengan cara yang bijak itu hajarul aswad bisa ditempatkan kembali pada tempatnya yang semula, dan perang suku urung terjadi.

Ada beberapa hal penting yang bisa kita catat dalam peristiwa tadi. Pertama, bahwa potensi sukuisme, golonganisme, nasionalisme selalu ada di dalam sebuah masyarakat. Apakah masyarakat itu telah mengalami pencerahan atau yang masih belum. Lebih-lebih yang masih jahiliyah. Masyarakat Amerika yang mengaku paling tinggi peradabannya ternyata masih belum bisa melepaskan ikatan nasionalismenya. Bahkan tampak semakin subur saja.

Kedua, karena 'ashabiyah itu merupakan sebuat potensi yang sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan, maka penyelesaiannya harus hati-hati. Tidak bisa ditinggal begitu saja, tapi harus disikapi secara arif dan bijaksana. Setiap pemimpin hendaknya bisa meniru gaya Rasulullah dalam mengakomodasikan kepentingan ini. Beliau tidak serta-merta meninggalkan, tapi merangkulnya, demi keutuhan bersama.

Satu lagi contoh peristiwa penting yang berkaitan dengan masalah ini. Ketika Rasulullah dikejar-kejar oleh kaum kafir setelah melakukan penjajakan hijrah ke Thaif, beliau lari ke sebuah perkebunan. Di sana Rasul bertemu dengan salah seorang penjaga kebun. Seperti biasa, sebuah pertemuan selalu didahului dengan basa-basi, termasuk menanyakan asal-usul. Begitu tahu asal-usul si tukang kebun, Rasulullah berkisah tentang salah seorang tokoh daerah setempat yang disakralkan. Timbullah intrest pada penjaga tersebut. Ia kemudian mengatakan bahwa apa yang diceritakan oleh Nabi itu sangat detail dan banyak data-data baru yang belum pernah terungkap. Lewat sentuhan ini, sang penjaga kebun tertarik, bersimpati. Meskipun tidak langsung menyatakan masuk Islam, ia membantu Nabi seperlunya.

Simpati dan dukungan seperti itu cukup melegakan Rasulullah. Bagi orang yang sedang dalam bahaya, tidak dimusuhi saja sudah cukup. Apalagi dibantu sekadarnya, itu lebih dari cukup.

Barangkali kita juga masih ingat pada suatu peristiwa dalam perang Hunain. Perang ini merupakan perang terbesar yang terjadi semasa Nabi masih hidup. Jumlah pasukan yang terlibat dalam pertempuran ini luar biasa banyaknya. Akan tetapi karena kaum muslimin terlalu percaya diri, menganggap jumlah sebagai kekuatan utama, maka kekalahan hampir-hampir saja menimpa pasukan Islam. Barisan mereka kocar-kacir, semangat tempur menurun, dan pertahanan hampir saja jebol. Pada saat-saat genting seperti itu Rasulullah berteriak, "Wahai kaum Muhajirin, wahai kaum Anshar!"

Sebutan itu telah menggerakkan kembali semangat juang mereka. Yang semula bercerai-berai kembali merapatkan barisan. Yang sudah terlanjur mundur untuk menyelamatkan diri, kini maju lagi. Tak lama kemudian Allah menurunkan bantuan-Nya, dan akhirnya kaum muslimin terhindar dari kekalahan.

Pada saat negara dalam keadaan bahaya karena ancaman desintegrasi, dibutuhkan seorang pemimpin besar yang arif bijaksana sebagaimana Rasulullah saw. Pemimpin itu tidak apriori terhadap tuntutan daerah tapi tidak juga melepaskan begitu saja. Seorang pemimpin yang bisa merangkul berbagai kepentingan untuk kesejahteraan bersama dalam menggapai ridha Allah swt.

Semangat kesukuan dalam batas-batas tertentu merupakan hal yang wajar. Masalahnya sekarang, bagaimana semangat itu diisi dengan nilai yang dapat memberi arti. Rasulullah memberi nilai kepada penduduk Madinah dengan sebutan kaum Anshar, yang dikaitkan langsung dengan nilai-nilai historikal keagamaan. Jika spirit penduduk Madinah murni spirit kedaerahan, tentu tidak bernilai. Spirit itu baru bernilai setelah mereka disebut sebagai kaum Anshar, yang mengaitkan langsung dengan nilai-nilai kejuangannya ketika membantu saudara-saudaranya para imigran dari Makkah.

Demikian juga penduduk Makkah yang hijrah ke Madinah disebut sebagai kaum Muhajirin. Dengan demikian kedaerahan mereka tetap melekat, sementara nilai dan spiritnya telah berubah menjadi lebih Islami. Hal ini sama dengan mengambil botol, membuang isi yang lama dan menggantinya dengan isi yang baru.

Begitulah cara Rasulullah menyelesaikan masalah sukuisme, nasionalisme, dan daerahisme. Rasulullah tidak menolak mentah-mentah, tapi memanfaatkannya untuk tujuan yang lebih besar dan lebih mulia, yaitu terbentuknya masyarakat Madinah, yang tegak berdiri di tengah masyarakat dunia secara beradab.

Dengan cara-cara yang jitu itu, Rasulullah berhasil mempersaudarakan mereka dalam suatu ikatan yang ternyata lebih kuat dari ikatan darah, ikatan golongan, ikatan kedaerahan, dan berbagai ikatan lainnya. Ikatan itu tidak lain adalah ikatan tauhid, yang barangsiapa berada di dalamnya bukan terbelenggu, tapi malah terbebaskan. Inilah satu-satunya ikatan yang membebaskan.

Dengan demikian, ketika Rasulullah wafat, potensi kedaerahan kembali muncul, maka para sahabat segera dapat menyelesaikannya dengan baik. Meskipun kaum Anshar telah menyetujui kepemimpinan kaum muslimin dari golongannya, keputusan itu bisa dianulir berkat kesadaran tauhid. Secara aklamasi Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah pengganti Rasulullah, tanpa banyak tantangan berarti. Kaum Anshar lapang dada menerimanya, demikian juga kaum Muhajirin.